admin@smpitnurulishlah.sch.id +62-3435-2356-222

Kumpulan Cerpen Karya Siswa SMP IT Nurul Ishlah Dalam Memperingati HUT RI Ke 75


H-1

Oleh: Nida An Khafiyya Alhadyie

 

Aku menyibak kalender, 16 Agustus 2020. Hah, ternyata besok adalah hari yang sangat penting bagi negaraku. 17 Agustus, hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini. Huft. Aku berbaring –lagi di atas tempat tidurku. Menatap langit-langit kamar dengan kosong. Aku menerka-nerka tentang apa yang terjadi 75 tahun yang lalu di hari yang sama. Diketiknya naskah proklamasi, kah? Ah tidak, naskah proklamasi diketik pada hari yang sama itu dibacakan. Hmm,16 Agustus 1945? Ah, aku tahu, hari dimana Peristiwa Rengasdengklok terjadi, kan? Sepertinya iya. Entah kenapa, aku mulai membayangkan Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta, yang diculik oleh sejumlah pemuda –Ck, lagi-lagi aku lupa nama-namanya dan didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Aku ingat sekali saat guru PKN ku mengatakan peristiwa itu terjadi pada pukul 03.00. WIB. Tunggu, sekarang jam berapa?

Aku meraba nakas kecil disamping tempat tidurku. Meraih benda canggih yang akhir-akhir ini selalu di genggaman. Handphone. Huh, hari-hari karantina ini dipenuhi dengan pancaran radiasi dari benda yang satu ini. Tapi sayangnya, aku tidak bisa membenci benda ini karena ia juga membantuku untuk online class. Baik, sekarang jam 01.47 WIB. Masih ada 1 jam lebih sebelum “penculikan” itu dilakukan. Kira-kira apa yang dilakukan golongan muda, ya? Berunding, kah? Sepertinya iya. Ck, mereka sangat hebat. Berani speak up atau menyuarakan pendapat. Bukankah jika tak ada “pergejolakan” dari golongan muda maka tidak ada yang namanya “proklamasi 17 Agustus 1945”?. Maksudku, golongan tua juga sangat berperan dalam peristiwa ini. Aku salut dengan golongan tua yang juga mau berunding bersama golongan muda. D isinilah kita bisa tahu bahwa pendapat kaum muda di tahun kemerdekaan dulu, sangat-sangat dihargai dan setidaknya dipertimbangkan. Apakah sekarang hal itu masih ada? Atau milenial sekarang yang malah lalai dalam “kewajiban” mereka membela negara? Ah, aku tidak tahu. Tapi sepertinya iya, sebagian dari mereka sudah lalai. Tapi tunggu, aku juga termasuk milenial, kan?

            Segera aku bangkit dan terduduk di kasur seraya mengerutkan kening. Tiba-tiba saja aku menanyakan pertanyaan yang belum pernah hinggap di pikiranku sebelumnya. Apa arti eksistensiku di bangsa ini? Lihatlah, 75 tahun yang lalu, persis hari ini, kaum muda telah “merombak” takdir bangsa Indonesia bermodalkan dengan keinginan gigih mereka untuk merdeka. Secara langsung, mereka membawa dampak dan perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Bahkan sampai sekarang, kita bisa merasakan dampak dan eksistensi mereka. Wah, aku tak bisa membayangkan. Semangat juang mereka sangat hebat. Apakah milenial sekarang juga bisa seperti mereka?

Aku menghela napas. Apakah AKU bisa seperti mereka? Salah, bukan masalah bisa atau tidaknya, tapi aku HARUS bisa seperti mereka. Tidak, tidak, ini bukan tentang jam 3 nanti aku akan “menculik” presiden dan wakil presiden. Aku hanya ingin hidup dengan useful, aku mau semua waktu dan energi yang aku habiskan itu berguna bagi orang banyak, khususnya bagi negaraku sendiri. Intinya, aku nggak mau hidup secara egois. Karena menurutku, sia-sia hidup jika hanya memikirkan diri sendiri. Aku sebagai kaum milenial ini harus punya caranya sendiri untuk bisa membuktikan bahwa aku useful bagi bangsa dan negara. Jika kaum muda pada tahun penjajahan berjuang melawan musuh, maka aku harus berjuang melawan kemalasan –masalah khas milenial.

Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil laptop yang akhir-akhir ini sudah jarang aku gunakan. Lihatlah, bahkan monitornya saja sudah berdebu. Aku ini mempunyai hobi menulis. Tapi dulu. Dengan rutinitasku -belajar yang sekarang, rasanya nggak sempat untuk menulis, atau aku yang terlalu malas? Entahlah, sepertinya iya. Baiklah, sekarang, aku sudah memutuskan dengan cara apa aku harus mendedikasikan hidupku sebagai kaum milenial bagi bangsa dan negara. Aku. Akan. Berkarya. Sudah sepatutnya kaum milenial untuk menciptakan “karya”nya sendiri dibandingkan harus bergantung dari karya orang lain. Emang bisa dengan menulis? Jangan remehkan penulis, bro. Andrea Hirata? Beliau sudah menerima banyak penghargaan internasional melalui buku-bukunya yang sangat bermanfaat bagi dunia literasi maupun pendidikan. Dan yang lebih harunya, aku pernah membaca sebuah artikel yang menuliskan bahwa Andrea Hirata meneriakkan “Indonesia, Indonesia, merdeka, merdeka!” saat penganugrahan gelar doktor honoris causa kepada dirinya dari Universitas Warwick, Inggris. Aku bisa membayangkan betapa bangganya Andrea Hirata menyerukan kalimat itu disertai dengan tepuk tangan riuh penonton bak proklamasi kemerdekaan. Andrea Hirata adalah satu di antara beberapa orang lainnya yang sudah mendedikasikan karya-karyanya untuk mengharumkan nama Republik Indonesia. Dan aku, juga ingin seperti itu. Tapi aku akan melakukannya dengan cara yang lebih modern.

Aku mulai membuka salah satu platform ternama di dunia, blogspot. Aku memutuskan untuk menulis di platform ini. Aku percaya, nge-Blog adalah salah satu cara dari beribu cara yang ada untuk mulai berkarya dan berprestasi ala kaum milenial. Kita memang tidak bisa mengangkat senjata demi membela negara seperti yang dilakukan golongan muda pada zaman penjajahan. Tapi kita, kaum milenial, bisa menunaikan kewajiban membela negara dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada. Mesti dengan menulis? Nggak juga. Tergantung dengan pilihan dan passion yang kalian miliki. Dan tergantung, dengan pilihan kalian yang mau hidupnya useful atau unuseful.

Tanpa sadar, bibirku terus tersenyum membaca postingan Blog lamaku. Hah, ternyata aku benar. Jika tidak memulai maka aku tidak akan pernah tahu hal apa saja yang akan menunggu di masa depan dikarenakan postingan kecil ini. Aku bangga. Setidaknya aku bukan salah satu dari milenial unuseful yang hanya berkomentar jahat di postingan instagram artis-artis ternama. Tapi sekarang, mereka yang berkomentar di postingan instagramku. Ah, aku tidak peduli dengan komentar-komentar jahat. Karya-karyaku hanya diperuntukkan bagi diriku, orangtuaku, dan orang-orang yang mendukungku, dan yang pasti, negaraku tercinta. Republik Indonesia.

Aku melirik handphone ku. Jam 15.00 WIB. Waktu yang sama saat aku menekan tombol “publikasikan” untuk postingan “H-1” yang sudah berumur 7 tahun ini. Ck, waktu berjalan dengan cepat, ya. 7 tahun dengan cepat berlalu dan aku tak sabar untuk menyambut hari esok, 17 Agustus 2027.

 

HARAPAN KECIL UNTUK NEGRI

Oleh: Aniesa Salsabila

 

“Assalatukhairum minan naum” terdengar suara azan dari surau, aku pun terbangun dari tidur ku dan menunaikan sholat subuh. Seperti di pagi minggu biasanya, aku akan pergi ke pantai untuk mengambil ikan yang ayah jaring semalam di laut lepas. Tak berlama lama aku pun melangkahkan kaki keluar dari rumah dan segera menuju ke bibir pantai. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menggoyangkan pohon kelapa yang berjejer rapi, burung-burung laut pun berkicau terbang bebas di angkasa, matahari mulai terbit, di tambah dengan suara dentuman ombak yang memberikan suasana khas pesisir. Membuatku semakin cinta dengan negeriku yang begitu indah.

Dari kejauhan sudah terlihat air laut yang jernih dengan pasir yang berwarna putih. Aku pun menghampiri ayah di atas dermaga kayu yang sederhana dan mengambil sekarung ikan tongkol segar pemberian ayah. Aku pun bergegas pulang agar ikan-ikan tongkol ini tidak terlambat sampai ke kota. Di sepanjang jalan terlihat bendera pusaka merah putih berkibar di depan rumah warga, pertanda hari kemerdekaan hampir tiba. Di depan rumah sudah tampak pak Ali yang sudah siap dengan motornya untuk mengantar ikan ke kota. Kemudian aku meletakkan sekarung ikan tongkol di atas honda pak Ali.

Sulitnya ekonomi di daerah pesisir mengharuskan wanita dan anak-anak ikut bekerja. Pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh wanita di pesisir menjemur ikan asin dan budidaya rumput laut. Biasanya untuk menambah uang jajan aku dan teman-teman sering mengumpulkan kerang-kerang yang ada di bibir pantai untuk dirangkai dan dijadikan berbagai aksesoris. Negeri ini memang mempunyai sejuta kekayaan alam dan keindahannya. Namun di balik keindahan ini, tak sedikit kapal-kapal asing yang masuk ke perairan tempat tinggal ku untuk menangkap ikan dengan cara pemboman ikan yang dapat merusak terumbu karang dan ekosistem laut, di tambah lagi mereka menggunakan pukat harimau yang dapat membunuh ikan-ikan kecil. Entah mengapa harus di negeriku mereka mencari ikan, mungkin benar seperti di film-film, orang bilang tanah kita tanah surga. Suatu saat nanti kami penerus bangsa ingin memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan menjaga kemaritiman Indonesia dari kapal-kapal asing yang ingin mengambil kekayaan laut Indonesia.

Tak terasa hari sudah hampir magrib, langit pun sudah tampak merah kejinggaan, matahari pun perlahan menghilang. Azan juga sudah berkumandang, segera aku berwudhu dan menunaikan ibadah sholat, setelah sholat dilanjutkan dengan makan malam dan tidur. Sudah beberapa malam aku merenung memikirkan bagaimana caranya memulihkan ekonomi rakyat desaku dan bagaimana caranya agar aku dapat membuat perubahan kecil yang bermanfaat untuk desaku tercinta. Pertanyaan ini yang selalu menghantui diriku, dengan melihat kondisi ekonomi tanah kelahiranku yang terus mengalami masalah, dan di malam kemerdekaan Indonesia ini aku belum bisa menemukan titik terang bagaimana cara melakukan perubahan yang bermanfaat. Mungkin aku bisa melakukan hal kecil untuk membela negeri ku dari permasalahan ekonomi, seperti mengajak temanku memanfaatkan potensi alam yang ada di pesisir kami, pikir ku.

Wah ternyata hari sudah pagi, ujar ku yang terbangun karena sinar matahari yang masuk ke kamar dari celah-celah dinding kayu dan menyengat kulitku . Aku begitu terlelap tidur semalam. Segera aku membuka jendela kamarku dan duduk sambil meluapkan isi hati ku.” Hai Indonesia, selamat hari kemerdekaan yang ke 75,di hari ulang tahun negeri ini ada harapan kecil untukmu, aku berharap ekonomi negeri ini ke depan semakin membaik dan bebaskan negeri ini dari kemiskinan dan kesengsaraan, mungkin puluhan tahun ke depan negeri ini akan di pegang oleh generasi milenial, izinkan kami untuk membela negara dari keterpurukan ekonomi dan memberikan sedikit perubahan untuk negeri kami, Sulit memang untuk remaja seusia ku untuk membela negaranya, namun jika sudah cinta pada negerinya semua hal akan dilakukan demi negerinya. Jika bukan sekarang kami bisa membela negara mungkin di masa yang akan datang, iya aku sangat yakin hal itu.

 

Menghargai Pahlawan

Oleh: Muhammad Rafif Alfata

 

Pada suatu hari tanggal 17Agustus, Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Suatu sekolah merayakannya dengan berfoto menggunakan baju pahlawan, kuputuskan memakai kostum seperti Pangeran Diponegoro. Semua atribut kostum Pangeran Diponegoro segera aku beli. Tapi keesokan harinya, aku malah bangun kesiangan. Kulihat jarum panjang di jam Dinding kamar sudah menunjukkan angka sebelas.

Tidak ada waktu lagi untuk dandan ala Pangeran Diponegoro. Aku panik. Lalu kuputuskan memakai kostum pejuang rakyat biasa. Aku mengambil sarung, menyampirkannya ke baju kaos yang kupakai. Aku mencoret-coret wajah ku dengan spidol warna hitam, dan mengotori sedikit bajuku. Dengan itu, berangkatlah aku ke sekolah. Tapi setibanya disana, acara 17 Agustus sudah usai. Kuputar balik tubuhku, meninggalkan sekolah. Tapi seorang teman memanggilku. Akupun melihatnya. Tampak ia tersenyum padaku. Lalu bertanya, “Kamu pakai kostum pahlawan siapa?” Rupanya ia tidak tahu kostum pahlawan yang kupakai. “Pejuang rakyat biasa.” jawabku. Ia tertawa mendengarnya. “Lah? Memangnya kenapa?” tanyaku sambil bingung. Ia mengejekku. Aku tidak mau memperdulikannya lagi. Kutinggalkan dia yang sedang Menertawai kostum yang kupakai ini.

Berjalan menuju halte, menunggu bus yang akan Membawa ku pulang ke rumah. Saat di dalam bus, kulihat kursi di sebelah seorang kakek-kakek tampak kosong. Aku Segera duduk disitu. “Bang, ongkosnya.” Seorang penagih ongkos bus menagihku. Aku memeriksa kantung kostum pejuangku. Kuambil uang lima ribu. Lalu kuberikan pada Penagih ongkosnya. Uang kembalian dua ribuan kertas diberikannya padaku. Ku pandangi uang kertas dua ribuan kembalian penagih bus. Tertera sebuah tulisan “AWAS INI UANG PALSU!!!!”pada lembaran uangnya. Lalu didepan angka 2000 Ditambahkan angka satu menggunakan pulpen hitam jadi tertulis Rp12000. Dan gambar Kumis Pangeran Antasari ditebalkan memakai pulpen hitam. Pada awalnya, aku tidak begitu menghiraukannya.Tapi karena kakek yang duduk di Sebelah ku juga terus memandangi uang yang sedang kupegang, aku bertanya “Kenapa Kakek ikut memandangi uang ini?” Aku lalu bertanya. “Benar-benar tidak menghargai.” Jawab si kakek. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah sedih. “Memangnya kenapa Kek?” “Itu gambar salah satu Pahlawan yang turut berjuang mengusir penjajah tapi wajahnya dicoret-coret begitu, seperti tidak menghargai jasa dan perjuangannya saja.” Si kakek menjawab panjang lebar. “Lalu bagaimana baiknya, Kek?” aku kembali bertanya. Lagi-lagi, tampak rona kesedihan Terpancar di wajah si kakek. Kakek menjawab “Parapejuang seperti Kakek dan juga beliau tidak pernah minta dihormati apalagi dihargai, Kami berjuang tanpa pamrih. Tapi jangan lantas melupakan begitu saja jasa-jasa kami.”. Aku mengangguk pelan. “Kakek tadi dari mana?” tanyaku. “Ikut peringatan 17 Agustus di Istana Negara, Nak.” Jawab si kakek.. Lalu tanpa diminta, si Kakek menceritakan tentang dirinya. Hingga perjuangannya melawan penjajah. Tapi belum tuntas ceritanya ku dengarkan, kernet angkot sudah meneriakkan tujuan dimana aku turun. “Saya turun disini dulu ya, Kek.” Pamit ku. “Hati-hati ya, Nak.” Pesan si kakek. Aku tersenyum mendengarnya memanggil ku Nak Padahal kami berdua belum lama saling mengenal satu sama lainnya. Tamat

Jadi, hikmah yang bisa diambil adalah, jangan sekali-kali kalian melupakan jasa para pahlawan yang telah berjuang melawan penjajah. Karena tanpa mereka, kita tidak bisa hidup bebas seperti sekarang.

 

SUDAH MERDEKA KAH KITA?

Oleh: Cut Alifa Alyana

 

Hari ini aku pergi berlibur ke rumah Nenek. Aku sangat menikmati perjalanan menuju rumah Nenek. Karena rumah nenekku terletak di pedesaan yang jauh dari pusat kota. Aku pun jadi dapat melihat pemandangan alam yang begitu indah di hadapanku. Tapi aku melihat masih ada beberapa rumah gubuk di sana. Aku pun turun dari mobil dan bertanya tentang rumah gubuk tersebut pada warga disana.

Ternyata, memang disana masih banyak orang yang tidak memiliki rumah yang layak, masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan masih banyak anak-anak yang tidak dapat makanan bergizi. Baru kusadari, ternyata kemerdekaan Indonesia hanya sebatas terbebas dari para penjajah. Tapi Indonesia belum merdeka dalam bidang pendidikan dan kemiskinan. Beruntungnya aku masih dapat bersekolah, masih dapat makan dgn gizi yang cukup, dan masih memiliki rumah yang layak untuk beristirahat dan belajar. Aku bersyukur atas semuanya.

Kata Ibuku, mereka harus bekerja untuk membiayai SPP sekolah. Mereka harus berusaha keras untuk mencari makan. Bahkan untuk berangkat ke sekolah pun mereka harus berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh sekali. Apa ini yang disebut dengan kemerdekaan?

Aku meminta seorang anak menceritakan bagaimana sulitnya untuk bersekolah dengan keadaan yang seperti ini. Katanya, mereka harus bangun pagi-pagi untuk memubuat kue bersama Ibu mereka. Lalu, sebelum berangkat sekolah mereka akan menjual kue tersebut. Uang hasil penjualan pun terkadang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Maa syaa Allah… Betapa semangatnya mereka menjalani kehidupan. Betapa sabarnya mereka menjalani kemiskinan. Mereka tidak pernah mengeluh. Mereka menjalani semuanya dengan senang hati. Sedangkan kita yang masih mampu sekolah saja terkadang malas pergi sekolah. Malas mengerjakan tugas yang diberikan. Bahkan ada yang tidak mengerjakan tugas sama sekali.

Bagaimana dengan mereka disana? Dengan segala keterbatasan mereka, mereka masih memiliki keinginan untuk sekolah. Dan kita disini, ke sekolah diantar, pulang sekolah dijemput, SPP kita orangtua yang membiayai, peralatan sekolah kita orangtua yang beli, masih tidak bersyukur juga?

Sebenarnya, untuk mengatasi masalah tersebut tidak harus mengharap kepada pemerintah saja. Sesama kita seharusnya juga dapat saling membantu mereka. Yang mampu bisa menolong yang kurang. Jika masalah ini tidak ada yang bisa mengatasi lagi, barulah kita ajukan kepada pemerintah.

Ketika hampir sampai di rumah nenekku, aku melihat sangat banyak sampah berserakan. Lalu aku bertanya pada ayahku mengapa begitu banyak sampah disini. Kemudian ayahku menjawab mereka belum peduli tentang kebersihan lingkungan.

Ada di beberapa tempat yang masih menganggap sungai sebagai tempat pembuangan sampah, ada juga yang membuang air bekas cucian ke sungai, bahkan ada yang masih membuang air besar di sungai. Padahal air sungai diambil untuk dijadikan air minum. Jika sungai sudah tercemar, bukankah sudah tidak baik lagi untuk dijadikan air minum?

Ternyata mereka tidak mempunyai wc di rumahnya. Sehingga harus membuang air kecil dan besar di sungai. Nah, jika sudah begini solusinya adalah pemerintah yang harus mensosialisasikan kepada masyarakatnya bahwa sungai bukan pengganti wc. Dan pemerintah juga sebaiknya membuatkan jamban untuk mereka yang tidak memiliki jamban.

Akhirnya, aku pun sampai di rumah nenekku. Dan akhirnya pun aku dapat memetik hikmah tentang kemerdekaan Indonesia. Kita memang telah lama merdeka. Tapi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini belum sepenuhnya dirasakan oleh warga negara Indonesia, karena kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan dari kemiskinan, kebodohan, dan dari pencemaran lingkunga

 

Kembalinya Cinta Pahlawan

Oleh: Qatrunnada

 

“Sofia... Tungguin aku dong !” Gadis bernama Sofia itu menghentikan langkahnya lalu melirik sahabatnya yang seda-ng berlari di koridor sekolah. “Sumayyah... Aku nungguin kamu sampai satu jam, emang rapat OSIS selama itu ya?!” “Maaf, maaf, habisnya kami bingung mau buat acara apa nantik waktu 17 agustusan” Sumayyah segera menyamakan langkah Sofia, lalu tersenyum. “Mudahkan, tinggal buat lomba tarik tambang, makan kerupuk, balap karung, sekali-an aja panjat pinang !”

Sofia memandang Sumayyah heran, bukannya lomba-lomba itu selalu dimainkan saat 17an? Begitu pikirnya. “Nggak, kami nggak mau, kami ingin hal yang berbeda, kamu ada saran nggak Sofia?” “Hmmm kalau kalian mau yang beda gimana kalau... Mencari jerami di tumpukan jarum!” Sofia tertawa keras. “Nggak lucu Fi, hmmm... Gimana kalau OSIS gabung sama anak seni lukis aja!” “Eh... Tapi bukannya anak seni lukis sombong - sombong semua ya?”

Sofia mulai teringat anak seni lukis, kabarnya mereka sombong ketika karya salah sa-tu karya anggota mereka dipajangkan di salah satu pameran seni, dari situ mereka mul-ai sangat sombong, bahkan setiap tahu semakin banyak saja yang mengikuti kelas seni. “Maaf. Anda sedang berbicara dengan salah satu anggota seni.” “Ah... Iya maaf, aku lupa !” “Lagi pula mereka jugak sombong karena dulu ekskul itu dikucilkan !” Sumayyah tersenyum licik. “Senyum licik kamu itu keluar, udah ketemu caranya?” “Jangan asal ngomong gitu. Hmmm. Aku udah dapat caranya.” “Apa?” Sofia segera memasang wajah penasaran. “Rahasia OSIS!” “Rahasia lagi!” Ini satu dari sejuta rahasia OSIS yang dia sembunyikan. “Ya udah yuk cepetan kita pulang, sekarang kamu yang bonceng aku kan, aku ambil sepedanya dulu!” “Oo... Iya”

Di sepanjang perjalanan Sumayyah memikirkan bagaimana menyusun rencana - renc-ana yang hampir meledak di kepalanya. Rapat OSIS. “Wah... Boleh jugak rencana kamu Sumayyah.” “Makasih Dina.” Sumayyah tersenyum sambil memikirkan seberapa serunya 17an tahun ini. “Ya udah, aku mau kasih pengumuman dulu ke mereka.” “Ya...”

Seluruh anggota OSIS tampak bersemangat hari ini. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, maaf mengganggu istirahat teman - teman semua, kami OSIS mengharapkan seluruh teman - teman untuk mengikuti lomba drama dengan tema pahlawan lalu menyerahkan hasil rekaman yang sudah diedit sebag-us mungin, satu kelompok berkelompok sekitaran 11 sampai 12 orang, silahkan kalian memilih teman sendiri. Batas waktu 1 bulan sebelum 17 agustus. Dan saya mengharapk-an seluruh anggota ekskul seni lukis ke ruang OSIS. Terimakasih.” 17 agustus. Pukul 9.00. “Jadi ini yang mebuat kamu senang banget kemarin itu Sumayyah?” Sumayyah tersenyum manis.“Terus kenapa aku jadi salah satu juru kamera?” “Soalnya kamu pintar soal kameraan, dengan ngedit jadi kamu tolong aku ya!!!” Sumayyah tersenyum manis, sementara Sofia hanya tersenyum pasrah, lalu memas-ang wajah tidak ingin diganggu. Melihat itu Sumayyah kembali memutari area perlomb-aan. “Kakak. Aku kayaknya nggak bisa lukis!” “Nggak apa - apa, kita disini senang - senang, nah pahlawan yang lagi adek lukis na-manya siapa?” “Malahayati.” Aku tersenyum, ternyata cara mengenalkan pahlawan berhasil. “Kak kenapa sd ikutan jugak ini bukannya acara smp?” “Biar seru dek, kan kita jugak masih satu lingkungan. Oh ya... habis shalat maghrib kita nonton film, yang kakak - kakak dengan abang - abang buat, adek ikutan nonton ya!!” “Ya pasti seru. Di aula utama kan kak?”

Aku mengangguk sambil tersenyum manis pada adik kelasku itu.

 

Pesan moral: Memperkenalkan pahlawan dengan cara menyenangkan, dapat dilakukan dengan kreatifitas.

 

Lomba 17 Agustus di Sekolah

Oleh: Azzam Zahidan

 

17 Agustus. Mendengar kata itu semuanya pasti sudah tahu apa yang dipikirkan. Hari kemerdekaan Indonesia yang dirayakan setiap tahun. Semua orang pasti tahu apa selanjutnya. Sebuah lomba makan kerupuk, lompat karung dan juga pastinya bagi yang menang mendapat hadiah istimewa. Pada saat itu aku dan teman-teman sangat antusias dalam mengikuti lomba yang diadakan di sekolah.

Aku, Said, dan Bintang mengikuti lomba rebut kursi, dan aku mengikuti satu lomba lagi yaitu cerdas cermat. Mayoritas teman-teman mengikuti lomba sepak bola, dan jarang sekali yang ingin mengikuti lomba rebut kursi. Akhirnya kami bertiga berdiskusi untuk ambil bagian dalam lomba tersebut. Pada saat itu tidak hanya lomba rebut kursi saja, tetapi ada lomba lain seperti tarik tambang dan pertandingan sepak bola antar sepak bola antar kelas. Kami bersiap siap mengikuti lomba pada pukul 08:30. Pada putaran pertama kami tidak ada yang keluar dan pada putaran kedua Bintang keluar dari peserta karena terlambat duduk di kursi. Aku keluar pada putaran keempat. Sedangkan Said, dia bisa bertahan sampai putaran terakhir, tetapi akhirnya keluar juga. Kami tidak menyangka bahwa kami bertiga keluar dari permainan. Kami mengambi foto lalu pergi ke kantin sekolah. Bintang membeli 3 gelas teh dan memberikannya kepada aku dan Said. Aku membeli sepotong roti dan makan di tempat duduk kantin.

Setelah selesai makan, Aku dan Said pergi ke lapangan untuk melihat teman-teman yang lain bertanding sepak bola. Pada saat itu tidak hanya lomba rebut kursi saja, tetapi ada lomba lain seperti tarik tambang dan pertandingan sepak bola antar kelas. Tetapi, pada saat aku sampai di lapangan, sepertinya aku dan said kurang beruntung. Sebab, pertandingan sepak bola sudah mulai dari beberapa menit sebelumnya. Saat aku dan Said datang, skor pertandingannya sudah menjadi 2-2. Akhirnya kelas kami pun kalah dengan skor 2-3. Pada saat itu tidak hanya lomba rebut kursi saja, tetapi ada lomba lain seperti tarik tambang dan pertandingan sepak bola antar kelas.

Itulah cerita kami tentang lomba 17 agustus di sekolah. Walaupun kelas kami tidak menang, kami tetap bahagia karena bisa berpartisipasi dalam kegiatan tersebut dan yang utama kami belajar tentang saling bekerja sama, bermusyawarah dan yang paling penting kami belajar tentang sebuah keberanian dan perjuangan.

 

Indonesia Tetap Tanah Airku

Oleh: Nabila Fahira

 

Assalamu’alaikum teman-teman perkenalkan namaku Aria. Aku sedang sekolah SD di Jepang. Sahabatku bernama Ayako. Aku dari TK sudah ada di Jepang. Aku asli Indonesia. Ya saat peperangan terjadi antara Indonesia dan Jepang, aku ada di Jepang. Aku tidak diberitahu tentang itu. Ah sedih sekali aku tidak membela Negara sendiri. Padahal Indonesia sudah menjadi kenangan lahir ku. Sementara Ayako berusaha menyembunyikannya.

“halo Aria, em… kok masam gitu mukanya?’’ tanya Ayako.

“Ayako, em… 17 Agustus tahun ini aku mau rayain di Indonesia bersama keluarga ku’’ ucapnya.

“em.... kalau memang mau ke negaramu, ya tidak apa apa’’ jawab Ayako.

“huh, udah lama di jepang masih mau ke negaramu’’ ucap Elisha.

“jangan di masukkan ke hati ya, dia bukan asli Jepang’’ ucap Ayako.

“ya tidak apa-apa’’ ucapku.

“kamu udah lama di Jepang ya jangan balik lagi dong, tanah airmu itu Jepang’’ ucap Elisha yang asli Belanda.

 

Mohon di perhatikan, jangan di contoh hanya untuk adegan tertentu.

 

“em… mungkin dia malu karena Negara nya kalah’’ ucap Ayako bercanda.

“jangan begitu dong’’ ucapku.

“gak ada, kamu harus tetap di Jepang’’ ucap Elisha.

“aku enggak mau, tanah airku Indonesia, aku cinta Indonesia’’ ucap ku.

Aku segera keluar dari kelas. Aku lebih senang di kampung.

Seperti lirik lagu tanah air.

Walaupun banyak… negri kujalani                

Yang mansyur…. Permai di kata orang…

Tetapi kampung…dan rumahku…                

Di sanalah ku rasa senang…..

 

Yuk bela Negara

Oleh: Nabila Fahira

 

Assalamu’alaikum namaku Glasdan. Ingat ya aku perempuan. Kali ini aku ingin bilang cara membela Negara kita dengan cerpen.

Allahuakbar Allahuakbar azan subuh berkumandang. Aku segera bangun dari tempat tidurku. Setelah shalat aku memakai baju yang sesuai. Seperti batik. Lalu aku pergi ke sekolah. Tiba tiba ada orang buang sampah. Aku mengambilnya.

Pulangnya aku melihat orang membakar sampah. Aku langsung menggelengkan kepala. Setelah orang itu pergi aku mengubur sampah itu agar tidak mengganggu orang.

 

Di perjalanan aku melihat ada orang yang di bully.

“jangan membuli orang’’ ucapku marah.

Orang yang mem-bully langsung pergi.

“terima kasih ya..’’ucap korban.

 

Lalu setelah aku pulang aku segera membaca buku, dan belajar. Gitu deh ceritanya. Em… jadi cara cara bela Negara ada di bawah ini ya…

1. Disiplin

2. Jangan membuang sampah sembarangan

3. Jangan membakar sampah

4. Selesai membakar sampah sebaiknya di kubur agar tidak mengganggu orang

5. Jangan menyakiti orang

6. Raihlah pretasimu.

 

Itu dia beberapa tips dariku. Semangat ya membela Negara kita. Terus menghargai keragaman kita. Wassalamu’alaikum.

 

Keseruan 17 Agustus

Oleh: Nabila Fahira

 

Assalamu’alaikum teman teman. Apa kabar. Masih sehat kan. Perkenalkan namaku ….

Maisa. “kakak, bentar lagi 17 Agustus loh, kakak enggak buat lomba?’’ tanyaku di kamar kak Ray {kakak laki laki kandungku}.“ada kok, kamu mau daftar?’’ tanya kakak Ray balik. “iya kak Ray’’ jawabku. “mau daftar yang mana?’’ tanya kak Ray. “semuanya’’ jawabku. “oke deh, besok jangan lupa datang ke lapangan ya…’’ pesan kak Ray.

Aku mengangguk senang. Besoknya aku segera ke lapangan. “okelah anak-anak hari ini kita akan lomba, pecahkan balon, lomba lompat karung. Tarik tambang kelereng dan masih banyak lagi’’ ucap panitia. Aku pun mengerjakan semua lomba. Seru sekali loh. Apalagi saat lompat karung. Aku jatuh hingga 2 kali loh. Aku menang di lomba tarik tambang dan juga pecahkan balon. Tahun ini aku kurang fokus.

 

Sampai situ aja ceritaku. Assalamu’alaikum.

Selamat ulang tahun Indonesia yang ke 75.

 

Membela Negara melalui Media Sosial

Oleh: Aisha Zahida Marthunis

 

Seorang anak perempuan bernama Asiyah sedang duduk termenung di teras sekolah. Khadijah sahabat Asiyah menghampiri Asiyah yang sedang melamun sejak tadi pagi.

“Assalamualaikum Asiyah” ucap Khadijah yang membuat Asiyah terkejut mendengar nya. “Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh” jawab Asiyah dengan terkejut. “Apa yang sedang kamu pikirkan? dari tadi aku lihat kamu seperti memikirkan sesuatu deh, hayo lagi mikirin apa?” tanya Khadijah. “Ada sih ,aku sedang memikirkan perjuangan pahlawan kemerdekaan Indonesia. Kan perjuangan menuju kemerdekaan itu gak mudah, tapi banyak yang tidak menghargai jasa mereka” kata Asiyah. “Iya juga sih, bagaimana kalau kita menasehati teman-teman supaya lebih menghormati jasa-jasa pahlawan kita” saran Khadijah.“ Tapi,aku takut mereka tidak mau mendengarkan nasehat kita” kata Asiyah. “Asiyah sahabat ku, kita kan belum tau hasil nya kalau belum mencoba kan?” jawab Khadijah dengan sabar menjelaskan. “Ya udah, kita coba ya Khadijah” kata Asiyah sambil menyetujui saran dari Khadijah. “Nah gitu dong ,itu baru sahabat Khadijah” ucap Khadijah sambil tersenyum pada Asiyah.

Akhirnya mereka mencoba menasehati teman teman, tapi teman-teman mereka tidak mendengarkan nasehat mereka. Mereka lebih fokus ke media sosial. Tiba-tiba ide terlintas di kepala Asiyah. Asiyah mengutarakan idenya kepada Khadijah. “Khadijah ,bagaimana kalau kita buat media sosial juga” kata Asiyah. “Yah..semangat Asiyah kurang deh untuk nasehatin teman-teman” ucap Khadijah dengan sedih. “Jangan su’udhon deh! kan aku baru mau kasih saran, Khadijah sahabat ku” kata Asiyah sambil tersenyum.

Khadijah yang baru berprasangka buruk kepada Asiyah pun mulai beristighfar dan mulai melemparkan senyum kepada Asiyah. Khadijah sangat yakin kepada Asiyah bahwa dia bisa menemukan solusi yang lebih cemerlang. Walaupun Khadijah sempat suudhon kepada Asiyah.

“Jadi apa rencana mu wahai Asiyah?” tanya Khadijah. “Begini kita buat akun instagram untuk kita berdua, kan teman teman pada liat instagram semua kan? terus caption-nya itu tentang perjuangan pahlawan, gimana Khadijah?” saran Asiyah mengutarakan idenya. “Ok, tapi nanti kalau gak berhasil gimana?” tanya Khadijah lagi. “Sesuai dengan yang kamu bilang tadi sama aku. kan kita gak tau hasil nya jika belum mencoba iya gak?” jawab Asiyah. “Oiya aku lupa, hehehe” kata Khadijah sambil ketawa sama Asiyah.

Akhirnya jam masuk pelajaran pun tiba dan mereka belajar dengan perasaan yang gembira karena mereka telah menemukan solusinya hingga jam setengah dua belas siang. Karena hari ini hari Jumat sekolah Asiyah dan Khadijah hanya belajar sampai setengah dua belas siang saja. “Khadijah,mampir ke rumah ku yuk!”ajak Asiyah. “Yuk!” jawab Khadijah “Nanti dirumah ku kita buat deh akun instagram nya ,gimana?”usul Asiyah. “Setuju!” jawab Khadijah menyetujui usul Asiyah.

Sesampainya di rumah Asiyah. Asiyah mengucapkan salam dan menyalami uminya. Khadijah pun melakukan hal yang sama. Kemudian Asiyah mengajak Khadijah ke kamarnya untuk merencanakan apa yang akan mereka buat di instagram. Umi Asiyah mengintip dari jendela dan melihat mereka sedang asyik sekali mengobrol. Umi pun menghampiri mereka yang sedang mengobrol. “Wah kalian ngobrol apa sih? kok dari tadi umi lihat asyik sekali ngobrol nya” Tanya umi “Gini umi, Asiyah dan Khadijah itu mau membela negara lewat media sosial “ jawab Asiyah“ Maksudnya?” tanya umi lagi “Sekarang banyak yang tidak menghargai jasa pahlawan kita. Jadi kami berniat menasehati mereka lewat instagram. Soalnya tadi kami menasehati mereka langsung tapi mereka tidak mendengarkan ,malah mereka lebih fokus ke media sosial seperti instagram . Gitu deh umi cerita nya” kata Asiyah sambil menjelaskan kepada umi. “Oh begitu…bagaimana kalau kalian buat instagram lewat akun instagram umi aja. Kan umi tidak perlu instagram lagi, jadi bisa kalian gunakan deh “ kata umi “Oiya …kawan kawan Asiyah juga pada follow umi kan?” sahut Asiyah

Akhir nya Asiyah dan Khadijah pun mengganti nama akun umi Asiyah menjadi nama singkatan dari nama mereka berdua @askha._(tapi itu gak beneran ya teman teman).

Setelah selesai mereka mulai mengupload video tentang perjuangan pahlawan kemerdekaan Indonesia dan caption-nya membuat teman-teman mereka tersentuh dan tersadar bahwa mereka tidak pernah menghargai jasa-jasa pahlawan. Pada hari Senin, saat upacara tidak ada lagi yang berbicara saat berlangsungnya upacara. Asiyah melihat perubahan teman-teman nya itu dan segera mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah membuka hati teman-teman mereka. Setelah itu Asiyah mengancungkan jempol kepada Khadijah sebagai tanda bahwa rencana mereka telah berhasil.

 

Pesan yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah :

1.      Selalu menghargai jasa pahlawan kemerdekaan Indonesia

2.      Jangan mudah berputus asa terhadap masalah sampai kalian menemukan jalan keluarnya

 

Terimakasih telah membaca cerita ini, semoga bermanfaat-

 

Kisahku, Si Anak Miskin

Oleh: Nabiel Javier Rahman

 

Namaku Zaki. Aku kelas lima SD, nama sekolahku Nurul Mudayah. Aku tinggal di daerah Peuniti, Banda Aceh. Sejak kecil aku kesusahan dan menderita karena ibuku tidak memiliki uang dan kami adalah orang yang sangat miskin. Aku bersekolah di tempat yang sangat jauh. Setiap hari aku naik sepeda ke Sekolah. Pagi buta sekali, sekitar jam lima pagi aku harus berangkat agar tidak terlambat.

Ibuku seorang penjual bakso dan ayahku sudah lama meninggal, saat aku kelas dua SD. Sejak saat itu, ibuku selalu bekerja setiap harinya tanpa mengeluh. Ia bahkan mengeluarkan uangnya demi aku agar mendapatkan pendidikan dan berharap menjadi orang yang sukses dikemudian hari nanti.

Di sekolah aku sering diejek sebagian teman karena aku miskin. Mereka melihat penampilanku yang tidak memiliki peci, kaos kaki yang sobek dan sepatu kotor karena telah terlalu lama dipakai terus. Saat pergi ke kantin seperti biasa teman-temanku itu terus menjauhiku, padahal aku termasuk anak yang rajin dan cerdas di sekolah. Setiap ada pekerjaan rumah (PR), biasanya mereka mengambil paksa bukuku ketika guru tidak ada. Aku ingin sekali membalasnya, tapi ibuku pernah berkata bahwa orang yang paling kuat itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya. Aku sebenarnya ingin memberi tahu persoalanku kepada guru, tapi aku tidak berani karena khawatir teman-teman akan memukulku.

Kebetulan di sekolah ada informasi tentang lomba puisi dan cerpen oleh penerbit buku di Jakarta. Aku ingin mengikuti dua-duanya lomba itu sebab pemenang puisi akan mendapatkan uang sebesar lima juta rupiah dan cerpen sebesar tujuh juta rupiah. Keinginanku tiba-tiba menguap, saat teringat bahwa aku tidak mempunyai laptop. Aku sedih dan menceritakan pada ibu. “Ibu akan membeli laptop untuk Zaki karena ibu percaya padamu,” kata ibuku yang begitu semangat melihat aku giat belajar. Aku tak tahu dari mana ibu akan mendapatkan biayanya.

Keesokan harinya sebuah laptop yang terlihat tidak baru sudah berada di kamarku. Aku terkejut sekaligus sangat bahagia dan mengucapkan terima kasih kepada ibu dan langsung memeluknya. Kami berdua saling berangkulan dan menangis bersama. Aku melihat jari yang di sana biasanya ada cincin emas yang diberikan oleh almarhum Ayah. Rupanya ibu menjual cincin emas tersebut. Perasaanku bercampur aduk antara senang dan sedih.

Sejak saat itu aku bertekad untuk mendaftar dan memenangkan perlombaan puisi dan cerpen itu. Aku semakin bersemangat belajar. Semangat dan tekadku tidak selalu berjalan mulus. Ada saja kesedihan yang muncul. Pernah saat aku pulang dari sekolah, kutemukan sepedaku kempis. Ini bukan untuk pertama kalinya terjadi. Pasti ulah dari. Terpaksa aku pulang jalan kaki sambil menggiring sepeda dan tentu saja menjadi terlambat tiba di rumah.

“Mengapa pulangnya terlambat sayang?” Ibu yang berada depan pintu rumah bertanya padaku. Aku menceritakan semua kejadian di sekolah. Ibu terlihat kesal dan marah. “Ibu akan menelepon orang tua mereka, sikap teman-teman Zaki sudah tidak dapat dibiarkan. Ibu akan menelepon ayah dan ibu mereka agar mereka bisa lebih baik.” “Jangan Bu! Aku tidak apa-apa, mereka hanya anak-anak yang belum mendapatkan hidayah,” ujarku “Tapi…, mereka selalu bersikap tidak baik kepada Zaki!” Tegas ibu dengan geramnya. “Ibu pernah berkata padaku kalau orang yang kuat itu orang yang dapat menahan amarahnya.” Ibuku sangat terharu mendengar jawabanku dan menangis. Ibu berterima kasih kepadaku karena telah mengingatkannya.

Pada hari minggu yang merupakan hari libur sekolah, menjadi kesempatan bagiku untuk membuat dan mengembangkan ide cerpen dan puisi karena deadline-nya tinggal beberapa hari lagi. Aku membuat puisi berjudul Arti Hari Kemerdekaan bagi Seorang Pahlawan. Sementara cerpen yang kubuat berjudul Hari Kemerdekaan bagi Anak Milineal.

Jantungku berdegup sangat kencang saat mengirimkan naskah puisi dan cerpen tersebut. Dengan membaca basmalah dan berdoa aku berhasil mengirimkan naskah tersebut.

Beberapa hari kemudian, melalui salah seorang guru di sekolahku memberitahu jika puisi dan cerpenku masuk tahapan final. Aku sangat senang dan semakin dekat menuju impianku. Namun aku menyadari jika perjuanganku belum selesai. Ada banyak kemungkinan yang dapat terjadi termasuk jika aku tidak menang sama sekali.

Saat puncak acara 17 Agustus, siswa-siswi yang berhasil masuk ke tahapan final diundang datang ke kantor gubernur. Saat pengumuman dari panitia acara adalah saat yang mendebarkan hati. Aku tidak menyangka namanya dipanggil dan harus naik ke atas panggung. Semua orang terlihat bertepuk tangan setelah diketahui aku mendapatkan dua penghargaan yaitu juara satu puisi dan juara satu cerpen. Aku berhak mendapatkan uang tunai 12 juta dari kedua lomba tersebut. Guru-guruku pun bahagia karena aku mengharumkan nama sekolah.

Mataku terlihat berkaca-kaca, seakan senyum ibu hadir di hadapanku. Aku berjanji dalam hati akan membelikan cincin emas buat ibu. Sisi hatiku yang lain tiba-tiba berbisik: ‘Seandainya ayahku bisa melihat semua ini.

 

Tetap Indonesia Walau Jauh dari Tanah Air

Oleh: M. Rafi Rahman

 

Riko adalah anak Indonesia yang sedang tinggal dan bersekolah di Jepang. Dia memiliki dua orang teman dekat yang bernama Hideyoshi dan Daici, mereka tetap berteman walau berbeda agama yang dianut. Riko beragama Islam sedangkan Hideyoshi dan Daici beragama Buddha. Riko harus bersekolah di Jepang karena kedua orang tuanya bekerja di sana, Riko duduk di kelas Achi-nensei atau kelas delapan SMP. Riko sudah bersekolah di Jepang sejak masih SD. Riko hanya bisa pulang sekali atau dua kali dalam setahun jika orang tuanya tidak sibuk. Pada tahun ini, orang tua Riko sangat sibuk, sehingga tahun ini mereka tidak pulang ke tanah air. Riko merasa sedih, sebentar lagi akan diperingati hari kemerdekaan Indonesia, biasanya setiap tahun ia sudah kembali ke Indonesia dan membuat perlombaan untuk merayakan hari kemerdekaan di kampung halamannya bersama nenek, kakek dan saudara-saudaranya.

            Pada suatu hari di sekolah, Riko terlihat tidak semangat, dia duduk di atas kursi dan badannya bersender ke arah depan meja, kedua teman dekatnya melihatnya, mereka datang menghampiri Riko. “Kamu kenapa Riko, apa kamu sakit?” Tanya Daici “Aku tidak sakit,” kata Riko “Jadi, mengapa kamu terlihat begitu lemas?” Tanya Hideyoshi “Tahun ini, aku tidak bisa pulang ke Indonesia, orang tuaku sedang sibuk, biasa bulan ini aku sudah di sana, sebentar lagi adalah hari kemerdekaan Indonesia, biasanya aku ikut upacara di lapangan dekat rumahku di sana. Setelah upacara aku ikut lomba, karena tahun ini aku tidak jadi pulang, aku tidak semangat hari ini,” kata Riko dengan nada lemas. “Oh begitu,” jawab Hideyoshi dan Daici serentak, tiba-tiba bel masuk kelas sudah berbunyi semua anak-anak yang sedang bermain di luar langsung bergegas masuk. “Kita sambung lagi di waktu istirahat ya,” kata Hideyoshi. “Baik,” kata Riko.

Beberapa saat kemudian, guru mereka masuk ke dalam kelas, semua siswa langsung berdiri dan memberi hormat kepada guru, setelah itu mereka duduk kembali, pelajaran pertama dimulai, suasana kelas menjadi tenang dan hanya terdengar suara guru yang menjelaskan materi pembelajaran. Saat istirahat pun tiba, seluruh siswa langsung menuju kantin, Riko berjalan lambat, teman akrabnya sudah menunggu di kantin. Setibanya di kantin, Riko hanya duduk di meja kantin dengan lemas, dia tidak membeli satu pun makanan, teman akrabnya juga sudah menawari makanan kepadanya, tapi dia menolaknya. “Kamu masih belum semangat ya?” Kata Daici. Riko hanya diam “Tadi kalau tidak salah, ketika di Indonesia, saat peringatan hari kemerdekaan, biasanya kamu mengadakan berbagai perlombaan, bagaimana kalau kita buat perlombaannya di sini?” Usul Hideyoshi memancing Riko. “Boleh,” kata Riko yang tiba-tiba menjadi semangat. “Kamu langsung semangat ya, ayo kita buat perlombaan, kita ajak teman-teman sekelas,” kata Daici. “Ayo!” Jawab Riko dan Hideyoshi. Bel masuk kelas pun tiba-tiba berbunyi, seluruh siswa kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.

            Ketika sore, sudah saatnya untuk pulang, Riko, Hideyoshi dan Daici berjalan kaki untuk pulang ke rumah, rumah mereka tidak begitu jauh dari sekolah. Di perjalanan pulang, mereka berbicara agar suasana menjadi seru. “Kita jadikan buat lomba?” Tanya Daici “Jadi,” kata Riko. “Lombanya nanti siapa yang buat?” Tanya Daici lagi “Tenang saja, semua itu urusanku, kalian hanya undang teman sekelas ke rumahku,” kata Riko “Baik akan kami undang, tanggal berapa acaranya?” Tanya Hideyoshi “17 Agustus,” jawab Riko “Dua hari lagi, ya…,” kata Daici. “Iya benar,” kata Riko. Ternyata mereka sudah sampai di rumah Riko, mereka pun berpamitan

            Keesokan harinya Riko sangat bersemangat ke sekolah, dia langsung membawa kertas berisi formulir pendaftaran untuk lomba yang telah dia buat, sesampainya di sekolah, Riko langsung membagikan kertas tersebut kepada teman-temannya. Di hari itu Riko sangat bersemangat untuk belajar. Sepulangnya dari sekolah, Hideyoshi dan Daici datang ke rumah Riko untuk membantu membuat perlombaan. Mereka akan menjadi panitia di lomba tersebut.

            Hingga hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, satu persatu teman-teman sekelasnya datang. Setelah semuanya berkumpul, mereka menonton siaran langsung upacara bendera yang ada di Indonesia melalui TV, lalu mereka berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama sama walau teman-teman Riko tidak mengerti artinya, setelah menonton upacara bendera, mereka langsung memulai perlombaan, mereka semua mengikuti perlombaan dengan ceria, banyak perlombaan yang baru diketahui oleh teman-teman Riko, di akhir perlombaan, Riko, Hideyoshi dan Daici, membaca hasil perlombaan, mereka membagi berbagai macam hadiah kepada teman-temannya, lalu mereka langsung membantu membersihkan area perlombaan bersama-sama. “Wah, ternyata seru juga ya perlombaannya,” kata Daici “Tahun depan, kita buat lagi, tapi di sekolah, undang seluruh kelas di sekolah,” kata Hideyoshi, mereka pun tertawa bersama-sama dengan gembira.

            Setelah selesai membersihkan area perlombaan, tidak terasa sudah waktunya teman-temannya berpamitan untuk pulang hari tersebut merupakan hari yang menyenangkan bagi Riko. Walau berada Jauh dari Indonesia, Riko masih bisa merasakan hari kemerdekaan di negara lain. Sungguh menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi Riko.

 

Suasana Perayaan HUT NKRI Ke 75 Dalam Masa Pandemi COVID-19

Oleh: Anna Alfatunnisa

 

Perayaan ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia hampir tiba, setiap tahunnya akan diadakan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 17 Agustus. Setiap tempat di Indonesia pasti mengadakan upacara bendera dan kegiatan perlombaan 17 Agustus yang meriah. Berbagai macam perlombaan yang diadakan pada hari tersebut, contohnya panjat pinang, balap karung, tarik tambang, dan lainnya. Seluruh masyarakat Indonesia bergotong royong untuk menyiapkan perlombaan dengan sangat meriah. Aku pasti akan mengikuti perlombaan tersebut di sekolah ataupun di desa tempat tinggalku.

Suasana saat perlombaan itu sangatlah meriah, ramai sekali warga yang mengikuti lomba, jika ramai warga yang ikut maka akan semakin seru. Tidak hanya anak- anak yang mengikuti perlombaan bahkan seluruh anggota keluarga kita juga bisa mengikutinya. Perlombaan yang paling terkenal adalah panjat pinang, karena di pohon pinang tersebut dilumuri banyak oli. Itulah sebabnya ramai sekali yang ikut melihat lomba panjat pinang yang sangat sulit ini. Dari perlombaan panjat pinang ini aku melihat bahwa jika kita berkerja sama sebagai tim maka pekerjaan itu terasa lebih mudah.

Suasana perayaan kemerdekaan negara kita di tahun 2020 ini menjadi sangat berbeda, karena adanya wabah COVID-19. Wabah COVID-19 ini sangatlah berbahaya, karena dapat menyebabkan kematian. Penyebaran COVID-19 terjadi melalui percikan cairan bersin, batuk, dan kontak tangan. Karena itu aku harus menghindari tempat ramai seperti mall, pasar, sekolah dan tempat-tempat wisata lainnya. Pemerintah menyarankan agar kita tetap di rumah saja, tidah boleh keluar rumah jika tidak berkepentingan. Saat keluar aku rumah harus menggunakan masker, dan selalu membawa hand sanitizer. Itulah sebabnya perlombaan 17 Agustus ditiadakan, karena dapat memicu keramaian dan menyebabkan penyebaran COVID-19 semakin meluas. Alhamdulillah teknologi sekarang sudah sangat maju sehingga aku tak harus ketinggalan pembelajaran, karena aku dapat belajar secara online. Saat aku keluar rumah aku harus menggunakan masker, dan aku juga harus mengingatkan ke teman-temanku bahwa menggunakan masker itu sangat penting di masa pandemi ini.

Aku berharap kepada seluruh masyarakat Indonesia sadar akan protokol Kesehatan, untuk melindungi diri sendiri dan orang terdekat kita. Aku telah melihat berita bahwa banyak sekali dokter dan perawat yang telah terjangkit virus COVID-19 ini, disebabkan makin minimnya Alat Pelindung Diri (APD) dalam merawat pasien serta karena kelelahan dalam merawat pasien yang terjangkit virus semakin banyak dari hari ke hari. Aku masih melihat banyak masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, mej

Category : Kegiatan , Artikel , Gallery , Karya Siswa ,